Analisislah
faktor-faktor penyebab keberhasilan dan kegagalan program transmigrasi di
Indonesia!
JAWABAN
Penyebeb kegagalan transmigrasi di Indonesia adalah karena pelaksanaan program
transmigrasi sebagaimana program dan kegiatan pembangunan lainnya hanya
mengejar kepentingan ekonomi sesaat dan kurang memperhatikan atau
mempertimbangkan aspek lingkungan sosial, budaya dan kondisi lingkungan hidup
setempat. Disamping itu pembangunan transmigrasi banyak didominasi oleh
pemerintah pusat dengan kebijakan dan langkah-langkah yang ditempuh banyak yang
bersifat sentralistik sehingga mengakibatkan terabaikannya aspirasi dan
kreativitas masyarakat setempat. Implikasi lebih jauh dan kebijakan tersebut
adalah, pembangunan transmigrasi tidak dilaksanakan dan dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan lokal.
Selain
itu ada beberapa faktor lain, yaitu:
1. Penyelenggaraan yang Bersifat
Teknosentris dan Sentralistik
Selama ini penentuan kebijakan dan penyusunan program penyelenggaraan transmigrasi banyak dilakukan terpusat di Jakarta dan top down. Selain itu kegiatan penyelenggaraan transmigrasi banyak dianggap sebagai pekerjaan yang bersifat teknis, atau didekati dengan pendekatan yang bersifat teknis. Ketentuan-ketentuan teknis tentang pengaturan perencanaan permukiman, pola usaha, hak transmigran dan pembinaan transmigran dianggap sama dan distandarisasi untuk seluruh Indonesia. Sedangkan para transmigrannya dianggap sebagai obyek yang dapat diatur dimana aspirasinya kurang mendapat perhatian.
2. Target Penyelenggaraan Transmigrasi Bersifat Kuantitatif Ketimbang Bersifat Kualitatif
Ukuran keberhasilan penyelenggaraan transmigrasi selama ini adalah besarnya transmigran yang dapat dipindahkan atau jumlah Unit Pemukiman TRansmigrasi (UPT) yang berhasil dibangun. Dibanding dengan pendekatan kualitatif, pendekatan kuantitatif memang dapat lebih cepat diketahui hasilnya dan lebih mudah diukur namun kita harus "membayar" kebijakan ini berupa kurangnya perhatian terhadap kualitas hidup transmigran dan kualitas penyelenggaraan transmigrasi, yang kemudian berakibat tidak tercapainya kesejahteraan para transmigran seperti yang diharapkan.
3. Pendekatan yang Bersifat Parsial
Selama ini pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan transmigrasi seolah-olah berdiri sendiri, tidak ada keterpaduan. Padahal kegiatan penyelenggaraan transmigrasi merupakan suatu rangkaian yang terkait satu dengan yang lainnya. Demikian juga koordinasi antar unit kerja pelaksana kegiatan transmigrasi juga kurang. Hal ini terjadi antara lain karena yang menjadi ukuran keberhasilan unit kerja tersebut adalah tercapainya target transmigran yang dipindahkan (yang lebih banyak ditentukan oleh anggaran) ketimbang tercapainya target kesejahteraan transmigran.
Selama ini penentuan kebijakan dan penyusunan program penyelenggaraan transmigrasi banyak dilakukan terpusat di Jakarta dan top down. Selain itu kegiatan penyelenggaraan transmigrasi banyak dianggap sebagai pekerjaan yang bersifat teknis, atau didekati dengan pendekatan yang bersifat teknis. Ketentuan-ketentuan teknis tentang pengaturan perencanaan permukiman, pola usaha, hak transmigran dan pembinaan transmigran dianggap sama dan distandarisasi untuk seluruh Indonesia. Sedangkan para transmigrannya dianggap sebagai obyek yang dapat diatur dimana aspirasinya kurang mendapat perhatian.
2. Target Penyelenggaraan Transmigrasi Bersifat Kuantitatif Ketimbang Bersifat Kualitatif
Ukuran keberhasilan penyelenggaraan transmigrasi selama ini adalah besarnya transmigran yang dapat dipindahkan atau jumlah Unit Pemukiman TRansmigrasi (UPT) yang berhasil dibangun. Dibanding dengan pendekatan kualitatif, pendekatan kuantitatif memang dapat lebih cepat diketahui hasilnya dan lebih mudah diukur namun kita harus "membayar" kebijakan ini berupa kurangnya perhatian terhadap kualitas hidup transmigran dan kualitas penyelenggaraan transmigrasi, yang kemudian berakibat tidak tercapainya kesejahteraan para transmigran seperti yang diharapkan.
3. Pendekatan yang Bersifat Parsial
Selama ini pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan transmigrasi seolah-olah berdiri sendiri, tidak ada keterpaduan. Padahal kegiatan penyelenggaraan transmigrasi merupakan suatu rangkaian yang terkait satu dengan yang lainnya. Demikian juga koordinasi antar unit kerja pelaksana kegiatan transmigrasi juga kurang. Hal ini terjadi antara lain karena yang menjadi ukuran keberhasilan unit kerja tersebut adalah tercapainya target transmigran yang dipindahkan (yang lebih banyak ditentukan oleh anggaran) ketimbang tercapainya target kesejahteraan transmigran.
Keberhasilan
transmigrasi di Indonesia dipengaruhi oleh bebrapa faktor, antara lain :
1. Mempertimbangkan,
mengembangkan dan mengintegrasikan desa lama yang ada (existing) dengan
permukiman baru.
Untuk mencegah timbulnya kesan program transmigrasi bersifat eksklusif dan tidak menghargai budaya serta hak warga setempat, maka pembangunan permukiman transmigrasi tidak boleh terpisah jauh dari desa asli yang ada. Pembangunan permukiman transmigrasi harus terintegrasi dengan desa asli yang ada dengan pengertian desa asli bersama warganya mendapat prioritas pertama dari program transmigrasi yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan / rehabilitasi prasarana dan sarana yang ada serta upaya-upaya pemberdayaan warga lokal.
2. Meningkatkan Kegiatan Land Clearing Menjadi Land Development
Kegiatan land clearing dilaksanakan dengan target akhir berupa tersedianya lahan yang siap tanam. Namun pada kenyataannya yang sering terjadi hanyalah lahan yang siap olah, bukan siap tanam. Hal ini dikarenakan (1) areal yang dibuka berupa hutan dengan tegakan kayu yang cukup rapat dan besar, atau (2) kegiatan land clearing untuk mencapai target luas areal yang dibuka dilaksanakan dengan pendekatan pekerjaan sipil (civil work). Implikasi dari hal ini adalah digunakannya alat-alat berat dengan spesifikasi untuk pekerjaan sipil tanpa mengindahkan aspek-aspek konservasi tanah. Fakta-fakta lapangan ini mendorong lahirnya tindakan-tindakan koreksi berupa langkah-langkah atau praktek untuk melakukan pengembangan lahan (land development) secara menyeluruh ketimbang praktek land clearing saja.
3. Penerapan Pendekatan Sosial Budaya
Warga Transmigran yang pada umumnya warga transmigran relatif lebih berdaya dari masyarakat lokal, ditambah lagi sifat penyelenggaraan transmigrasi yang cenderung eksklusif mengakibatkan timbulnya ekses negatif penyelenggaraan transmigrasi seperti (1) kecemburuan masyarakat lokal, (2) dianggap jawanisasi bahkan penghapusan etnis. Dengan pendekatan sosial budaya maka (1) eksistensi, adat istiadat dan kepentingan masyarakat lokal diperhatikan, (2) masyarakat lokal dan transmigran diperlakukan sama dan setara. Dengan pendekatan seperti ini maka masyarakat lokal sekitar kawasan transmigrasi dapat menerima secara terbuka dan memperoleh manfaat dari kedatangan transmigran.
Untuk mencegah timbulnya kesan program transmigrasi bersifat eksklusif dan tidak menghargai budaya serta hak warga setempat, maka pembangunan permukiman transmigrasi tidak boleh terpisah jauh dari desa asli yang ada. Pembangunan permukiman transmigrasi harus terintegrasi dengan desa asli yang ada dengan pengertian desa asli bersama warganya mendapat prioritas pertama dari program transmigrasi yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan / rehabilitasi prasarana dan sarana yang ada serta upaya-upaya pemberdayaan warga lokal.
2. Meningkatkan Kegiatan Land Clearing Menjadi Land Development
Kegiatan land clearing dilaksanakan dengan target akhir berupa tersedianya lahan yang siap tanam. Namun pada kenyataannya yang sering terjadi hanyalah lahan yang siap olah, bukan siap tanam. Hal ini dikarenakan (1) areal yang dibuka berupa hutan dengan tegakan kayu yang cukup rapat dan besar, atau (2) kegiatan land clearing untuk mencapai target luas areal yang dibuka dilaksanakan dengan pendekatan pekerjaan sipil (civil work). Implikasi dari hal ini adalah digunakannya alat-alat berat dengan spesifikasi untuk pekerjaan sipil tanpa mengindahkan aspek-aspek konservasi tanah. Fakta-fakta lapangan ini mendorong lahirnya tindakan-tindakan koreksi berupa langkah-langkah atau praktek untuk melakukan pengembangan lahan (land development) secara menyeluruh ketimbang praktek land clearing saja.
3. Penerapan Pendekatan Sosial Budaya
Warga Transmigran yang pada umumnya warga transmigran relatif lebih berdaya dari masyarakat lokal, ditambah lagi sifat penyelenggaraan transmigrasi yang cenderung eksklusif mengakibatkan timbulnya ekses negatif penyelenggaraan transmigrasi seperti (1) kecemburuan masyarakat lokal, (2) dianggap jawanisasi bahkan penghapusan etnis. Dengan pendekatan sosial budaya maka (1) eksistensi, adat istiadat dan kepentingan masyarakat lokal diperhatikan, (2) masyarakat lokal dan transmigran diperlakukan sama dan setara. Dengan pendekatan seperti ini maka masyarakat lokal sekitar kawasan transmigrasi dapat menerima secara terbuka dan memperoleh manfaat dari kedatangan transmigran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar